Jakarta, Jagakampung.com – Sepekan setelah disahkan DPR, naskah final Undang-Undang (UU) Cipta Kerja masih misterius. Kini, beredar sejumlah naskah UU yang tenar disebut sebagai omnibus law atau UU sapu jagat, dan berpotensi memicu spekulasi, pro-kontra, dan menimbulkan masalah yang tidak perlu.
Melansir situs media online KONTAN, misalnya, menerima empat versi naskah final omnibus law. Versi 1.028 halaman, versi 905 halaman, 1.035 halaman, dan terbaru versi 812 halaman. Tiga versi terakhir omnibus law masih mirip, sementara versi 1.028 halaman boleh dibilang memiliki perbedaan signifikan dan disinyalir merupakan draf awal UU Cipta Kerja.
Selain beberapa versi tadi, masih ada satu versi yang beredar, yakni omnibus law 1.052 halaman. Dus, versi manakah yang benar dan merupakan naskah resmi omnibus law yang disahkan DPR?
Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar menjelaskan, naskah final yang beredar setebal 1.035 halaman merupakan yang dibahas terakhir dan akan dikirim kepada Presiden Joko Widodo.
“Belum dikirim ke Presiden, karena tujuh hari setelah disahkan baru akan dikirim ke Presiden. Itu maksudnya tujuh hari kerja, jadi Rabu (14/10) dikirim,” ujar Indra, Senin (12/10).
Indra tak menampik saat paripurna 5 Oktober, naskah final UU Cipta Kerja setebal 905 halaman yang beredar. Tapi, dia menepis, ada perubahan substansi signifikan antara naskah final saat paripurna dengan naskah yang akan dikirim ke Presiden. “Yang dirapikan itu spasi, huruf dan typo (salah ketik),” ujar dia.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah juga menepis pemerintah dan DPR tak transparan dalam proses penyusunan UU ini. Meski begitu, Ida tak bisa memastikan mana naskah yang paling benar.
“Saya pernah di Baleg DPR, DPR biasanya tidak langsung menyerahkan (RUU yang disahkan paripurna DPR) ke pemerintah karena butuh waktu melakukan rujukan pasal,” katanya.
Frasa paling banyak
Tapi Ida memastikan, khusus klaster ketenagakerjaan, dalam pasal pesangon tak ada frasa paling banyak di perubahan pasal 156. “Yang benar tak ada kata paling banyak, karena itu ruang bagi perusahaan untuk memberi pesangon lebih banyak,” kata Ida.
Wakil Ketua bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam mengaku pengusaha belum mengetahui beda dua beleid UU Cipta Kerja yang beredar.
Pelaku usaha berpegangan draf RUU yang dibawa ke rapat paripurna DPR. “Kami tunggu sampai diundangkan saja. Aturan turunannya juga harus segera dibuat,” ujar dia.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai, banyaknya versi draf UU Cipta Kerja usai disahkan merupakan akibat dari proses legislasi yang dipaksakan. Salah satu bukti pemaksaan adalah agenda sidang paripurna DPR yang semula 8 Oktober mendadak maju menjadi 5 Oktober. Pembahasan pun dikebut dan diselesaikan dua hari sebelumnya yakni Sabtu (3/10/2020).
Kesulitan masyarakat mengakses draf UU Cipta Kerja juga terjadi. Semua fraksi DPR saat proses pembahasan tak ada yang menyampaikan poin-poin pembahasan maupun kesepakatan dari tiap pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Oleh karena itu, Guru besar FK Univeritas Gadjah Mada Maria SW Sumardjono menilai, penyusunan UU Cipta Kerja tak memenuhi asas keterbukaan karena tak seorang pun yang bisa mengatakan draf yang paling sahih dari hasil pembahasan.
Bivitri juga mengingatkan, bila ada perubahan UU Cipta Kerja dari naskah paripurna dengan yang diteken presiden, legalitasnya bisa dibatalkan Mahkamah Konstitusi. (Kontan.co.id)